24 Maret 2015

Kamboja

Aku ingin terbang. Begitu ingin terbang ke langit yang begitu tinggi. Terbang bersama wangi kamboja kuning yang mekar dan gugur setiap pagi.

Seperti apakah rasanya disana? Waktu itu aku pernah sekali mengamati langit. Begitu dekat dengan kumpulan awan. Semuanya putih bergumpal. Rasanya mungkin empuk kalau aku duduk atau berbaring di atasnya, hehe.

Ada apakah denganku? Aku punya kebiasaan baru. Memungut kamboja yang jatuh lalu menghirup aromanya. Harum. Aku tahu kamboja itu tak akan bertahan lama ketika sudah terpisah dari tangkainya. Tapi setidaknya ia tak mati sia-sia di tanah.

Ada yang bilang, kebiasaanku ini terlihat mistik. Haha, apakah mereka takut? Secara, bunga kamboja ini identik dengan bunga yang ada di areal pemakaman. Atau aku yang secara tidak sadar menebar aura mistik setiap kali aku datang dengan sekuntum kamboja kuning di tangan. Entahlah, aku tertawa saja. Sedikit aneh ya, hehe.

Kamboja itu...
Kuning. Mungkin karena inilah, kenapa setiap kali ada yang berduka, ada sepotong bendera kuning yang dikibarkan di depan pagar. Kalau diterpa angin, ia melambai –bagiku seperti seseorang yang melambaikan tangan untuk pergi namun tak akan kembali. Kalau terkena hujan, ia kuyup –bagiku seperti seseorang yang menunduk karena akan dilupakan.


Kamboja itu...
Wangi. Setiap bunga punya aromanya masing-masing. Meski ada pula beberapa bunga yang tak mengeluarkan aroma wangi. Dan kamboja selalu wangi. Benar. Aromanya khas seperti lagu sendu di malam hari. Seperti seseorang yang mencoba tegar ketika sendiri.


Begitulah.